Mitsubishi Pajero Jelajah Pesisir Barat Sumatra | MOBILVAGANZA
Menu

Mitsubishi Pajero Jelajah Pesisir Barat Sumatra


Kami mengendarai Pajero Sport GLS dari Jakarta ke Medan dalam kesunyian dan cengkeraman ketegangan, berjarak lebih dari 1.900 km

 MENDUNG SELASA PAGI 15 FEBRUARI melepas Pajero Sport GLS putih menuju Pelabuhan Merak. Begitu exciting. Lantaran akan menjelajahi rute yang belum pernah saya lalui, yaitu pesisir barat Sumatra—Lampung hingga Medan. Ikhwal rute jalan yang bakal dilalui sangat samar bagi kami. Informasi yang kami punya cuma; kondisi jalannya berkelok, menaik dan menurun tajam plus rawan tindak kriminal.
Pantas jika lantas pertama kali telapak ban menjejak bibir kapal feri di Pelabuhan Merak, kami merasa berada di gerbang labirin. Keberanian, selembar peta tak rinci, dan Pajero Sport tangguh; jadi bekal kami untuk menembus medan tersebut. Ini bukan jalur favorit para transporter. Kondisi jalan tak “bersahabat”!
 “Lebih baik dan aman Anda ambil lintas timur atau tengah. Jalur pesisir barat jalannya sempit, berkelok tajam, dan naik-turun curam. Sangat jarang rambu lalu-lintas. Jangan sampai serempet orang berkendara hingga celaka, Anda bisa ‘dimasak’ warga. Saat malam, jika di tengah jalan ada segerombolan tampak bersenjata, korbankan saja mobil Anda, gores sedikit tidak apa. Modus kriminalnya dengan obohkan pohon atau mendorong sapi atau kerbau ke jalan. Waspadai juga jika di belakang ada sepeda motor yang lajunya mengikuti kecepatan Anda,” kata polisi bernama Made, di dekat Tugu Gajah Lampung.


BANDAR LAMPUNG RABU DINIHARI 16 FEBRUARI. Kami hanya tidur sebentar. Bukan tak menghargai saran polisi, kami pantang surut langkah dan malam pun tetap kami terjang. Jelang Kota Agung Lampung kami sudah disuguhi tikungan maut, berbentuk hurus “S”, dan naik-turun. Tak mau ambil risiko, di tiap tikungan hanya mengandalkan engine braking kemudian injak pedal gas lagi hingga decitan ban begitu nyaring di telinga, ditambah dengan lembabnya udara dinihari. Hemmmbody roll mobil ini tidak mengkhawatirkan, membuat kami makin percaya diri di tikungan-tikungan berikut.
 Lepas Wonosobo Kota Agung masuk wilayah Kecamatan Semaka, kami di “pintu” Bukit Barisan. Kami pun mulai menaiki dan membelah bukit sepanjang 1.650 km dari Lampung hingga Aceh. Di sini kami merayapi tanjakan dengan kemiringan antara 60 sampai 75 derajat, sebelah kiri jurang dan sisi kanan tebing yang memperlihatkan tekstur dan warna tanah kuning, coklat, dan merah.
Saat tiba dan berhenti di puncak bukit—ini yang pertama dan luar biasa bagi kami— tampak jelas di sebelah kiri bentangan Samudera Hindia. Kami berani jamin, siapapun bakal takjub dibuatnya. Ini lah awal perjalanan kami masuk hutan, tembus pantai, dan kembali terobos rimba. Rute dominan penjelajahan kami selalu saja; saat di bukit, tampak di kiri hamparan Samudera Hindia. Ketika di pinggir pantai yang dihiasi tanaman padi, di kanan terlihat rimbun pepohonan bak pasaknya Bukit Barisan. Kami selalu tidak pernah tahu, kapan meninggalkan belantara hutan.
 Kemudian kami mengarah ke Bengkunat. Di sini mulai tampak pohon sawit sebelah kiri atau kanan jalan. Pemandangan ini makin sering kami dapati sampai masuk Provinsi Sumatera Barat, terutama di Provinsi Bengkulu. Banyak hutan dialihfungsikan jadi kebun sawit. Secara ekonomis memang menguntungkan. Tapi, secara ekologis menurut kami jadi ancaman bagi makhluk hidup di sekitarnya, termasuk manusia. Hutan yang tadinya sebagai ekosistem segala jenis makhluk hidup, jadi homogen. Tidak semua makhluk bisa bertahan hidup di lahan sawit.
Saat maghrib kami kembali masuk hutan. Ternyata mobil sudah menapak di area Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB). Kesunyian segera menyergap. Gelap, jalan berkelok sempit, beberapa titik rusak, sepi, di kiri-kanan belukar dan pohon-pohon besar seperti memayungi segala yang melintas. Diam-diam muncul rasa miris. Yang kami kuatirkan pohon roboh dan perampok. Dua jam kami terjebak dalam suasana mencekam dengan kecepatan sekitar 40 km/jam.
 Akhirnya kami keluar juga dari hutan. Lega rasanya. Selang sebentar, warung kopi jadi pilihan kami untuk melenturkan ketegangan. Ait…ternyata si empunya warung asal Jember, Jawa Timur. Di luar dugaan, dia ternyata punya dua hektar kebun sawit yang diperkirakan tiga tahun lagi panen pertama. Populasi suku Jawa memang terbesar di Lampung, sekitar 61%. Bahkan terbesar di Sumatra. Berikutnya orang Minang dan Aceh.
Satu jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan dan kembali masuk hutan dengan suasana serupa. Di saat kami ingin segera keluar dari hutan, tiba-tiba hujan deras, gelap makin pekat. Kaca depan seperti digelontor air. Jarak pandang hanya antara satu sampai dua meter. Setengah jam kami “dihajar” hujan semacam itu. Dahyat! Tidak mungkin kami berhenti. Ini hutan asli, Bung!
Setelah dua jam dicekam kesunyian dan ketegangan, kami mendapati warung makan. Sudah hampir masuk wilayah Bintuhan, Bengkulu. Kami pun memutuskan istirahat untuk melepas lelah.

 
KAMIS PAGI 17 FEBRUARI, kami memulai hari dengan segelas kopi dan obrolan para sopir truk. Si empunya warung yang baru tiba, entah dari mana, bilang, di SPBU tidak ada minyak (sebutan untuk bensin atau solar). Ups…jarum indikator solar Pajero sudah mendekati garis merah empty. Oh yah…konsumsi rata-rata solar selama perjalanan 9 km/liter.
“Tapi, di pedagang eceran ada, kok,” imbuh dia. Kami pun akhirnya membeli solar di pedagang eceran dengan harga Rp 5.500 per liter. Sengaja tidak kami isi penuh, dengan harapan di SPBU berikut tersedia solar. Nihil, ternyata habis juga, yang ada hanya bensin Pertamax. Terpaksa kami membeli di pedagang eceran dengan harga Rp 6.000. Selalu begitu sampai di Painan Sumatera Barat, hampir Padang.
Di sepanjang rute Bintuhan-Bengkulu, selain kebun sawit, kami banyak mendapati tengkulak ikan dan beberapa tempat pelelangan ikan kecil. Maklum, umumnya penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan. Rata-rata penghasilan mereka Rp 50 ribu sehari.
Ada yang kontras antara karakter orang Lampung dan penduduk Bengkulu. Yang terakhir lebih terbuka dan welcome. Dan yang menarik, bahasa yang digunakan orang Bengkulu berbeda-beda. Bahkan dalam jarak 30 km sudah beda. Misalnya antara bahasa orang Kabupaten Kaur Tengah dengan Padang Guci. Beda juga dengan bahasa orang Manna dan di Kota Bengkulu. Gara-gara ini, kata warga yang kami temui, gubernur Bengkulu dibuat bingung.
 Malam hari kami masuk Kota Bengkulu. Sebelumnya kami merasa ragu bahwa yang dimasuki adalah ibukota provinsi. Gelap, seperti bukan kota. Lampu penerangan jalan hanya satu sisi. Tapi, kami tidak mengalami kesulitan saat mencari tempat untuk bermalam. Banyak pilihan, berjajar menghadap langsung ke pantai. Bagi penyuka dunia malam, tak perlu risau.


JUMAT PAGI 18 FEBRUARI kami bergerak kagi. Mampir sebentar ke benteng Marlborough yang tampak tak terawat. Juga, singgah di kantor Gubernur Bengkulu. Selanjutnya kami keluar kota dan menyusuri pantai dan perbukitan, yang lagi-lagi dihiasai kebun sawit. Lalu-lalang truk pengangkut sawit jadi santapan mata sepanjang jalan.
 Saat hampir menghabiskan wilayah Kecamatan Lais, tepatnya di Desa Serangai, tiba-tiba di depan ada tikungan yang longsor. Seperempat jalan rontok dengan kedalaman jurang lebih dari 20 meter yang di bawahnya langsung laut Samudera Hindia. Cuma ada warga sekitar yang berjaga di situ. Itu pun pas di posisi longsor, tidak sebelum lokasi.
Setelah melewati kota Kecamatan Ketaun kami mendapati tiga titik jalan terputus. Tapi, sudah dipasangi jembatan dari batang pohon kelapa atau sawit yang muat satu kendaraan. Sepanjang jalan ini tanaman agak variatif. Bukan hanya sawit, ada juga karet.
Saat malam tiba lah kami di jalan yang trotoarnya seolah-olah pantai. Kata orang, jika sedang pasang, benturan ombak ke tembok pengaman bisa menyipratkan air laut ke jalan. Sayang waktu kami lewat tidak sedang pasang. Tapi, tergantikan oleh rembulan yang hampir penuh terpadu elok dengan awan dan garis-garis ombak di laut. Ini jelang kota Mukomuko. Dari sini sampai kotanya, jalan di sepanjang pantai ini betul-betul lurus dan halus. Tapi, kecil dan jika jika ada truk jangan harap bisa berpapasan. Lantaran tigaperempat jalan termakan olehnya.
Sampai di kota Mukomuko kami istirahat di warung pecel lele. Ternyata yang punya orang Lamongan yang beristrikan orang setempat yang sebelumnya tinggal dan kerja di Jakarta. Kata dia, di Mukomuko hanya satu orang yang punya Pajero Sport, yaitu orang yang kebun sawitnya paling luas. Malam itu juga, kami lanjutkan perjalanan tembus Provinsi Sumatera Barat. Jalanan tetap gelap gulita, kanan-kiri pohon sawit.

SABTU DINIHARI 19 FEBRUARI kami berada dalam gelapnya hutan yang tentu saja dengan jalanan berkelok tajam, tikungan menyerupai huruf “U” yang berulang-ulang. Di tengah hutan yang gelap kami temui kantor polisi. Beberapa ratus meter lewat kantor polisi, ada razia. “Jalanan ke depan dijamin aman, Pak. Untung sampai sini tidak terjadi apa-apa, padahal di hutan-hutan sebelumnya di Bengkulu saya tidak jamin,” kata polisi tersebut.
Siang hari masuk Bukit Tinggi. Istirahat sebentar nikmati kopi Aceh, lanjut menuju Lubuk Sikaping. Masuk kawasan garis khatulistiwa, hujan deras, kami pun berhenti, karena sama sekali tidak bisa melihat jalan. Hujan agak reda, kami lanjut. Saat malam tiba, kami kembali masuk hutan banyak tikungan diwarnai hujan kecil dan sedang. Banyak truk dan kendaraan umum di jalur ini. Aiit…hampir lupa ada yang saya salut dari mereka. Mereka tidak akan memberi jalan untuk disalip selama di depannya taka man dengan menyalakan sen kana. Jika sudah aman, baru dia menyalakan sen kiri dengan agak ke pinggir memberi jalan untuk disalip.

MINGGU DINIHARI 20 FEBRUARI kami istirahat di warung tengah hutan bersama para sopir truk. Kami segera bergerak dengan kecepatan lebih, karena sudah ditunggu di Brastagi. Tikungan demi tikungan menanjak dan menurun kami cabik-cabik. Ketangkasan dan refleks tangan serta kaki makin makin diperlukan. Tapi, itu tak soal. Satu hal yang paling riskan adalah kantuk dahsyat yang acap muncul.
Dan, saat tiba di Sipirok pada pukul 03.00 WIB kami dibuat tercengang. Ada tanjakan dan turunan dalam kondisi rusak parah. Persis medan offroad. Ada satu unit alat berat dan traktor di situ. Kami pikir, jalan ini sedang dalam perbaikan. Salah. Alat itu bukan bagian dari perbaikan jalan, tapi untuk menarik kendaraan yang tak mampu melewati rute ini. Tanjakan yang dikenal dengan sebutan aek latong ini ternyata jalan tapsel. Alias jalan tak pernah selesai.  
 Pagi hari kami sampai di Siborongborong. Menenggak segelas kopi sebentar. Kami segera melaju dan tidak jadi ke Brastagi, tapi langsung ke Medan. Berikutnya kami tidak bisa melakukan eksplorasi, karena waktu tidak memungkinkan. Setelah melewati jalan yang relatif banyak lurus, maghrib kami tiba di Medan. Pukul 20.00 kami sampai di Danau Toba Hotel, yang kebanyakan tamunya datang untuk bernostalgia.

Sumatra Sekilas
Sejak dulu Sumatra telah jadi perhatian dunia. Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatra dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula dipakai Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani, pada abad tahun 165, dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis, di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Sangat mungkin negeri yang dimaksudnya adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.
Dan dalam naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses yang ditulis nakhoda berbangsa Yunani-Mesir abad pertama Masehi, Taprobana dijuluki chryse nesos, yang artinya pulau emas. Naskah ini menjadi kitab/peta pelayaran dan perdagangan ke negeri-negeri di belahan timur.
            Sebutan pulau emas untuk Bumi Melayu ini ada juga dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau, disebut sebagai pulau ameh (pulau emas). Dalam cerita rakyat Lampung Sumatera disebut tanoh mas. Bahkan seorang musafir dari Cina, I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti negeri emas.
Asal nama Sumatra yang juga disebut Pulau Percha, Andalas, dan Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudera (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada 1345. Dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah. Kemudian menjadi Sumatra dan selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis.

Share This:

Post Tags:

No Comment to " Mitsubishi Pajero Jelajah Pesisir Barat Sumatra "

  • To add an Emoticons Show Icons
  • To add code Use [pre]code here[/pre]
  • To add an Image Use [img]IMAGE-URL-HERE[/img]
  • To add Youtube video just paste a video link like http://www.youtube.com/watch?v=0x_gnfpL3RM