Mitsubishi Outlander Meluncur ke Baluran | MOBILVAGANZA
Menu

Mitsubishi Outlander Meluncur ke Baluran



Kami seperti dilempar ke dalam “kandang” binatang liar dan buas. Padahal kami buta tentang mereka, karena memang bukan ahlinya. Inilah Africa van Java!
Menghabiskan malam bersama keluarga saat weekend menjadi kebiasaan favorit mayoritas kaum urban. Sabtu malam 13 April kami—Didin Sutandi, Edi Weente, dan Alvando Noya—tidak tertarik melakukannya. Kami lebih memilih berada di markas Motor Trend Indonesia menyiapkan perlengkapan untuk sebuah perjalanan ke timur Pulau Jawa. Tepatnya ke Taman Nasional Baluran di Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur; hutan suaka yang mungkin tidak banyak orang tahu, tapi menyimpan jutaan flora dan fauna karya dari Yang Maha Piawai dalam mencipta.
Jelang pukul 02.00 WIB Minggu 14 April kami baru menuntaskan persiapan dengan menutup pintu belakang Mistubishi Outlander Sport PX. Tanpa ritual formal pemanjatan doa untuk keselamatan—kami rasa berdoa cukup dalam hati masing-masing—tepat pukul 02.00 WIB kami bersama mobil kelir putih itu membelah malam yang senyap.
Sepanjang jalan tol Jakarta-Cikampek kami memainkan hampir seluruh fasilitas yang disediakan Outlander. Terutama yang ada di lingkar kemudi berbalut kulit, khususnya paddle shift saat adu tangkas dan cepat dengan kendaraan lain. Malam makin menggairahkan saat pedal throttle diinjak dalam-dalam dan raungan mesin masuk ke kabin. Suspensi Outlander yang rigid mampu mengimbangi kebinalan “150 kuda” dan pengemudian nakal. Keandalannya makin terasa saat bisa meredam benturan dengan lubang dan jalan bergelombang bak ombak yang “terhampar” di sepanjang pantura Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Gresik Jawa Timur. Jalan rusak serta perbaikan jembatan dan jalan di sejumlah titik membuat perjalanan jauh lebih panjang dari yang direncanakan.
Sehingga, kami baru tiba di gerbang Taman Nasional Baluran Senin 15 April pukul 17.00 WIB. Setelah dari visitor center dan bergerak menuju Pos Bekol ke area penginapan di hutan konservasi seluas 25.000 hektar, melalui jalan yang hanya cukup untuk satu mobil. Jalannya rusak dan gelap gulita. Benar-benar tercekam, karena dibekap ketakutan akibat lamunan yang berlebihan tentang kehidupan hutan dan pula harus menginap di tengah rimba. Jarak ke Pos Bekol yang hanya 12 km serasa ribuan kilometer. Setelah hampir satu jam, ketakutan itu agak menguap ketika lamat-lamat terlihat cahaya yang perlahan makin terang. Setiba di tujuan raut muka kami langsung sumringah, tapi bukan berarti ketakutan yang tadi mencengkeram raib. Bayangkan Bung, dua siang dan malam tinggal di hutan dengan satwa serta makhluk lainnya!
Kami pun segera mengurus administrasi pesanggrahan di pos petugas. “Oh yah Mas, fasilitas listrik hanya sampai pukul 23.00,” kata petugas yang bernama Yuda. Sontak keberanian kami menciut dan saling berpandangan dengan lidah kelu. “Tidak ada lampu petromak, lampu teplok atau lilin yang bisa kami sewa atau beli?” tanya Edi penuh harap.
“Tidak ada, Mas,” jawab Yuda. Blesss...empedu kami amblas ke dalam tanah. Saya yakin, para petugas yang ada di situ terbahak dalam hati melihat kami yang nyata-nyata seperti kucing dibawakan lidi. “Tapi, listrik bisa kami sediakan sampai pagi pukul 06.00. Biayanya seratus lima puluh ribu,” kata Yuda setelah diam 30 detik. Serentak dan sigap kami menyanggupi untuk membayar. Padahal, ternyata, malam itu sekitar pukul 22.00 WIB kami sudah tidur pulas diantarkan suara aneka satwa liar. Rasa takut kalah oleh “daya magis” kasur yang dalam 2x24 jam tidak kami temui. Padahal sebelumnya kami mendapat cerita dari petugas; satu banteng jawa (bos javanicus) dewasa bisa tinggal tulang-belulang dalam sejam, dilumat segerombolan ajag (cuon alpinus).

As If National Geographic Team


Selasa 16 April pukul 04.00 kami dibangunkan bunyi alarm. Setengah jam kemudian kami sudah di teras pesanggrahan untuk pergi ke Pantai Bama menikmati sun rise. Batas pandang yang sebelum terlelap tidur berwarna hitam pekat telah berubah menjadi terang tanah. Dan luar biasa, di hadapan kami terbentang luas savana berlatar gunung dibalut cahaya sedikit kuning. Yah...inilah Savana Bekol; nama tersebut diambil dari pohon bekol yang berdiri tegak di atasnya. Sedangkan gundukan bermacam material yang mengerucut itu adalah Gunung Baluran dengan tinggi sekitar 1.240 meter di atas permukaan laut.
Padang rumput dengan diselingi pepohonan itu memiliki luas sekitar 300 hektar. Total savana di Baluran seluas 10.000 hektar, terluas di Pulau Jawa. Pada musim kemarau, kata petugas Taman Nasional Baluran, area ini benar-benar “afrika” seperti Afrika yang pernah Anda kunjungi atau lihat di layar televisi. Tentu dengan dengan aneka satwa liarnya seperti macan tutul (panthera pardus), macan kumbang (panthera pardus melas), king-cobra (ophiophagus hannah), ular phyton, ajag, rusa timor (cervus rusa), banteng jawa, merak (pavo muticus) dan kerbau liar (bubalus bubalis).
Mereka datang berbondong ke Savana Bekol untuk mencari air, karena memang air sengaja disediakan di tempat ini. Anda bisa menyaksikannya terutama pada pagi dan sore hari. Tak heran jika taman nasional ini kondang sebagai Africa van Java. Sayang, kami datang pada musim hujan sehingga tidak bisa merasakan atmosfer Afrika dengan sempurna. Mayoritas binatang tersebut lebih memilih berada di dalam hutan ketimbang menyambangi Savana Bekol. Sebab, air dan makanan banyak tersedia di dalam hutan.
Namun, kami tetap bertekad keras bisa membidik mereka dengan kamera; terutama macan tutul, macan kumbang, ular cobra, ular phyton, ajag, kerbau liar, serta banteng jawa. Dan yang paling istimewa adalah yang disebut terakhir, karena banteng jawa menjadi ikon atau maskot dari Taman Nasional Baluran. Cuma, masalah utamanya Kamis pagi 18 April kami sudah harus meninggalkan tempat ini. Molor sedikit, dipastikan kami ketinggalan pesawat.
Okay...yang bisa kami lakukan saat itu adalah memaksimalkan waktu yang tersedia. Mau tak mau siang-malam harus bergerak, kami tapaki tiap jengkal tanah yang boleh dilewati dengan pasang mata dan telinga. Begitu juga saat menuju ke Pantai Bama yang berjarak 3 km dari Pos Bekol, mata dan telinga terus bekerja ekstra berharap berjumpa dengan yang kami cari. Di sepanjang jalan hingga ke Pantai Bama kami mendapati rusa, burung merak, ayam hutan (gallus sp.), kera abu-abu (macaca fascicularis),  lutung (trachypitecus auratus), dan biawak (varanus salvator).
Pantai Bama sendiri menyimpan keindahan panorama bawah air yang menawan. Anda bisa menikmati aneka terumbu karang dan ikan cantik dengan cara snorkling dan diving. Jika tidak mempunyai keberanian untuk menyelam, Anda bisa canoing di sini. Tapi, pagi itu kami lebih pilih menyeruput secangkir kopi dibanding menukik ke dasar laut hahaha...Oh yah tempat kami minum kopi ini satu-satunya kantin di bagian dalam hutan lindung tersebut, yang beroperasi dari pagi hingga pukul 20.00 WIB. Bisa lebih malam kalau ada pengunjung yang menginap dalam jumlah besar.
Sadar bukan saatnya untuk berleha-leha, kami bergegas melanjutkan petualangan “berburu” banteng jawa, kerbau liar, macan tutul, macan kumbang, dan lainnya. Mungkin Anda skeptis, “Kalian serius mau motret mereka? Berani?” Yah serius! Tidak 100 persen berani juga, 50 persen saja sudah bagus. Bayangkan saja misalnya macan kumbang. Jika macan jenis ini mengejar, bagaimana kami harus menyelamatkan diri? Kami tidak keberanian yang cukup untuk head to head dengannya. Lari kencang? Tidak mungkin, mengejar Metro Mini reot saja kami tidak mampu. Naik ke pohon? Mustahil. Macan hitam ini bisa dengan sangat mudah memanjat pohon.
Namun, bagi kami “Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang”. Jika perlu menjadi seperti pohon gebang (corypha utan). Jenis palem ini hanya sekali berbuah dan buahnya dimakan burung, lantas mati; Sekali Berarti Sesudah Itu Mati. Bergaya bak tim National Geographic, kami menyusuri jalur yang mungkin untuk mengendus dan menemukan mereka. Tidak ada yang sia-sia. Malam hari kami berhasil mendapati dan memotret kerbau liar. Sayang, kualitas fotonya tidak terlalu bagus karena lampu blor yang digunakan ber-watt kecil. Kami berharap esok mendapatkan lebih dari yang diinginkan. Tapi, betapapun kerbau-kerbau itu sanggup mengobati lelah dan menyempurnakan istirahat kami.
Rabu 17 April pukul 04.00 WIB kembali dibangunkan alarm yang menyengat gendang telinga. Hari itu kami mengulang yang dilakukan kemarin. Sama juga, tidak mendapat target yang dahsyat seperti macan, banteng jawa, phyton, atau king-cobra. Kembali, di malam hari kami hanya menjepret kerbau liar, tapi hasilnya lebih bagus dari yang kemarin. Sebab, waktu itu kami menggunakan lampu blor watt besar dengan sumber listrik dari aki yang barangkali berbobot sekitar 10 kg. Ya sudah kalau ternyata lagi-lagi kerbau, kami harus terima. Tapi tak bisa dimungkiri, kami pulang ke pesanggrahan dengan bisu dan kepala tertunduk. Karena, sudah tidak lagi kesempatan, esok kami sudah harus meninggalkan Baluran. Satu yang paling menghibur, toh kami bukan tim National Geographic sungguhan, hanya seola-olah. Hahahaha...terpingkal-pingkal setelah menyadari hal itu. Dan, mari kita tidur!
Namun, serasa baru sekejap terlelap, keras terdengar ketokan di pintu kamar membangunkan kami. “Ayo cepat Mas, kalau mau motret banteng jawa!” kata seorang ranger yang memandu kami. Ahaaai...Dewi Fortuna masih berpihak, iba rupanya jika kami kembali ke Jakarta tanpa “buah tangan” dari Baluran. Banteng jawa itu begitu anggun, membetot kami untuk mendekat sampai jarak sekitar 10 meter. Kami terpana dan lupa bahwa dalam hitungan detik salah satu di antara kami sudah tertancap di tanduknya, dia lempar ke atas dan kemudian mengoyaknya.
Setelah beberapa kali jepretan kami mundur teratur. Kami begitu berbunga, akhirnya kami bisa bertemu dengan ikon Taman Nasional Baluran tersebut, yang jumlahnya diperkirakan tinggal 26 ekor saja. Jumlah mereka makin berkurang dan terancam punah lantaran dimangsa ajag yang jumlah mencapai ratusan serta diburu manusia. Tapi, saya percaya alam akan kembali menyeimbangkannya dengan caranya sendiri. Sepertinya kita tak perlu risau berlebihan. Apalagi Baluran sendiri sampai sekarang masih bisa membuat kita bahagia.
Termasuk kami, yang pagi itu berkemas dengan girang dan perlahan meninggalkan pesanggrahan melintasi “rute seram” yang di hari pertama kami lewati. Ternyata, sama sekali tidak seram saat itu, tapi tetap “harus” takut karena ada titik tempat macan tutul sering muncul. Okay jika suatu saat harus kembali ke Taman Nasional Baluran, kami takkan sesak napas lagi. Yah...memang kami sangat ingin kembali untuk merasakan Africa van Java yang sempurna.

Flashback
Taman Nasional Baluran tentu tidak sekonyong-konyong ada. Dulu, sebelum 1928, AH Loedeboer seorang pemburu kebangsaan Belanda memiliki daerah konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit. Dia berpandanngan bahwa Baluran mempunyai nilai penting untuk perlindungan satwa mamalia besar.
Kemudian pada 1930 KW Dammerman yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan perlunya Baluran ditunjuk sebagai hutan lindung. Lantas di tahun 1937 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Baluran sebagai Suaka Margasatwa. Selanjutnya ditetapkan kembali oleh Menteri Pertanian dan Agraria RI. Pada 6 Maret 1980 bertepatan dengan hari Strategi Pelestarian se-Dunia, Suaka Margasatwa Baluran oleh menteri Pertanian diumumkan sebagai taman nasional.
Taman Nasional Baluran terbagi ke dalam zona Inti 6.920,18 Ha; rimba 12.604,14 Ha, Pemanfaatan 1.856,51 Ha; Tradisional 1.340,21 Ha; Khusus 738,19 Ha; Perlindungan Bahari 1.174,96 Ha: dan Rehabilitasi 365,81 Ha.

Share This:

Post Tags:

No Comment to " Mitsubishi Outlander Meluncur ke Baluran "

  • To add an Emoticons Show Icons
  • To add code Use [pre]code here[/pre]
  • To add an Image Use [img]IMAGE-URL-HERE[/img]
  • To add Youtube video just paste a video link like http://www.youtube.com/watch?v=0x_gnfpL3RM